(berdasarkan Mat 6:9-13)
Bapa Kami, yang ada di surga,
dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu,
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini,
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.
dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu,
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini,
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.
Bapa Kami
Bapa, atau
“Abba” (lih. Mk 14:36, Rom 8:15; Gal 4:6) dalam bahasa Aramaic adalah panggilan
yang erat seorang anak kepada ayahnya. Oleh kasih-Nya kepada kita, Yesus
mengizinkan kita memanggil Allah sebagai Bapa kita, karena Yesus mengangkat
kita menjadi saudara- saudari angkatNya. Ya, setiap kita mengucapkan kata
“Bapa”, selayaknya kita mengingat bahwa kita ini telah diangkat oleh Allah Bapa
menjadi anak-anak-Nya oleh jasa Kristus Tuhan kita.
Allah yang begitu agung dan mulia, Ia yang begitu besar dan berkuasa, dapat kita panggil sebagai “Bapa”.
St. Teresa dari Avila pernah mengatakan bahwa dalam kesehariannya saat
merenungkan Doa Bapa Kami ini, tak jarang ia hanya berhenti pada kata “Bapa”
saja, dan Tuhan sudah berkenan memberikan karunia sukacita kontemplatif yang
tak terkira. Mari kita belajar dari St. Teresa, bahwa saat kita mengucapkan
kata “Bapa”, kita sungguh meresapkannya dalam hati kita: ya, kita manusia yang
lemah ini, boleh memanggil Dia, Bapa, karena kasih-Nya yang tak terbatas kepada
kita. Saat kita katakan, “Bapa”…. resapkanlah bahwa kita berada dalam hadirat
Allah yang Maha Mulia, namun juga yang Maha Pengasih. Ia yang lebih dahulu
rindu kepada kita, sehingga kita diberikan kerinduan untuk berdoa, dan
memanggil nama-Nya.Allah yang begitu agung dan mulia, Ia yang begitu besar dan berkuasa, dapat kita panggil sebagai “Bapa”.
Bapa Kami:
Perkataan “kami” di sini mengingatkan kita bahwa kita dapat memanggil Allah
sebagai “Bapa” karena Kristus. Alangkah baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini
kita membayangkan bahwa kita berada di antara para rasul pada saat pertama kali
Yesus mengajarkan doa ini kepada mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Kristus
yang mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami, karena Kristus
tidak hanya mengangkat “saya saja” menjadi saudara angkat-Nya, tetapi juga
orang-orang lain yang dipilih-Nya, yaitu anggota-anggota Gereja. Oleh karena
itu, Doa Bapa Kami ini merupakan doa Gereja, ((KGK 2768)), doa yang ditujukan
kepada Allah Bapa yang mengangkat kita semua menjadi anak-anak-Nya. Dan, mari
kita renungkan juga, betapa besar harga yang telah dibayar oleh Kristus Sang
Putera untuk mengangkat kita semua untuk menjadi anggota keluarga Allah! Sebab
di kayu salib-lah Kristus telah menumpahkan Darah-Nya, Darah Perjanjian Baru
dan Kekal, sehingga Darah itulah yang mengikat kita semua menjadi satu saudara.
Yang ada di surga:
Ya, kita mempunyai seorang Bapa di surga, yang mengasihi kita sedemikian rupa,
sehingga tak menyayangkan Anak-Nya sendiri untuk wafat bagi kita, supaya
dosa-dosa kita diampuni dan kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan
ilahi-Nya. ((2 Pet 1:4; 1 Yoh 3:1; KGK 2766, 2780))
Dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu: : Ini merupakan kerinduan kita agar semakin banyak
orang dapat mengenal Allah yang mulia dan kudus. ((Mzm 111:9; Luk 1:49)) Dan
ini juga seharusnya disertai dengan keinginan kita untuk dipakai Allah sebagai
alat-Nya untuk memuliakan nama-Nya. “Dimuliakanlah nama-Mu, ya Tuhan, dalam
keluargaku, pekerjaanku, perkataanku, segala sikapku….; Jadilah Engkau Raja
dalam rumahku, pekerjaanku, studiku, dalam pikiran dan perbuatanku.” Ini
mengingatkan kita agar kita jangan mencari dan mengejar kemuliaan diri sendiri
dalam segala sesuatu, karena segala sesuatu yang ada pada diri kita
sesungguhnya adalah milik Tuhan dan harus kita gunakan untuk kemuliaan nama
Tuhan. Dan agar dalam setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil, kita dapat
menomorsatukan Tuhan, kiranya, keputusan/ tindakan apa yang terbaik yang bisa
kulakukan untuk lebih memuliakan Tuhan?
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga: Ketaatan dan penyerahan diri pada kehendak orang lain
mensyaratkan kerendahan hati, demikian pula penyerahan diri yang total kepada
Tuhan. Sering manusia berkeras dalam memohon sesuatu kepada Allah, namun di
sini kita melihat, Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kepada kita untuk berserah
kepada Allah Bapa. Sebab Bapa yang Maha Pengasih mengetahui apa yang kita
butuhkan dan apa yang terbaik bagi kita, bukan saja untuk hidup kita di dunia,
tetapi untuk hidup kita yang ilahi di surga kelak. Ungkapan penyerahan diri
yang total ini mengingatkan kita akan doa Yesus di Taman Getsemani, “… tetapi
bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42).
Karena ketaatan Yesus pada kehendak Bapa inilah, maka Ia menggenapi rencana
keselamatan Allah Bapa, dengan wafat-Nya di salib dan kebangkitan-Nya. Semoga
kitapun bisa taat dan menyerahkan diri kita secara total kepada Allah, sehingga
kita dapat mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah bagi umat manusia.
Berilah kami rejeki pada hari ini: Yesus sangat mengasihi kita dan peduli pada kita,
sehingga Ia mengajarkan kepada kita permohonan ini. Ia mengingatkan kepada kita
bahwa rejeki dan nafkah kita, “our
daily bread“, adalah berkat dari Tuhan. Tuhanlah yang mengizinkan kita
mendapatkan rejeki hari ini, memiliki kesehatan dan hidup sampai pada saat ini,
sehingga dapat menikmati rejeki yang Tuhan berikan. “Berilah padaku rejeki hari
ini, ya Tuhan, dan ingatkanlah aku bahwa semua rejeki yang kuterima adalah
semata-mata berkat-Mu, dan bukan milikku sendiri.” Maka kitapun harus teringat
pada orang lain, terutama mereka yang berkekurangan, agar merekapun beroleh
berkat Tuhan. Selanjutnya, para Bapa Gereja, terutama St. Agustinus mengkaitkan
“our daily Bread” dengan Ekaristi,
((Letters of St. Augustine to Proba, CXXX, chap. XI- 21)) yang menjadi berkat/
rejeki rohani kita. Ini mengingatkan kepada kita agar kita tidak semata-mata
mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat rohani. Bagi kita, berkat rohani
yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima Kristus Sang
Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk memohon
kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika
“setiap hari” ini diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya. “Semoga
Tuhan Yesus, Sang Roti Hidup itu, sungguh menguatkanku dan menyembuhkanku hari
ini, dan selama-lamanya.
Dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni
yang bersalah kepada kami:
Dikatakan di sini bukan “ampunilah
kami, seperti kami akan mengampuni
yang bersalah kepada kami.” Maka seharusnya, pada saat kita mengucapkan doa
ini, kita sudah harus mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita atau
yang menyakiti hati kita. Mari kita renungkan, kalimat yang sederhana ini namun
sangat dalam artinya: Bahwa Tuhan akan mengampuni kita kalau kita terlebih
dahulu mengampuni orang lain. Jadi artinya, kalau kita tidak mengampuni maka
kitapun tidak beroleh ampun dari Tuhan. Betapa sulitnya perkataan ini kita
ucapkan pada saat kita mengalami sakit hati yang dalam oleh karena sikap
sesama, terutama jika itu disebabkan oleh mereka yang terdekat dengan kita.
Namun Tuhan menghendaki kita mengampuni mereka, agar kitapun dapat diampuni
oleh-Nya. Maka mengampuni orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu, tetapi
sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita-pun diampuni oleh
Tuhan.
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi
bebaskanlah kami dari yang jahat: Mari kita sadari bahwa kita ini
manusia yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa dan kesalahan. Kita belum
sampai pada tingkat di mana kita benar- benar terbebas dari segala godaan dan
pencobaan. Pencobaan itu bisa bermacam- macam: ketakutan menghadapi masa depan,
sakit penyakit, masalah keluarga dan pekerjaan, dst, namun bisa juga merupakan
‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, karena merasa telah
diberkati dengan aneka karunia dan kebajikan. Untuk yang terakhir ini, St.
Teresa, mengingatkan bahwa kita harus selalu rendah hati, tidak boleh terlalu
yakin bahwa kita tidak akan jatuh ke dalam dosa. Jangan sampai kita bermegah
akan suatu kebajikan. St Teresa mengambil contoh, bahwa kita tidak boleh
terlalu cepat menganggap diri sabar, sebab akan ada saatnya bila seseorang
hanya sedikit saja menyinggung hati kita, namun langsung kesabaran kita itu
hilang. Maka sikap yang terbaik adalah selalu berjaga-jaga, menimba
kekuatan dari Tuhan, dan menyadari bahwa kita sungguh tergantung kepada-Nya.
Ada
banyak cara untuk meresapkan perkataan dalam doa Bapa Kami. Kita dapat berhenti
sejenak, setelah kita mengucapkan satu kalimat, dan merenungkannya, atau kita
dapat memilih satu bagian kalimat dalam doa Bapa Kami itu dan kita renungkan
berulang kali sepanjang hari. Kedua cara ini dapat menghantar kita pada
pemahaman yang lebih mendalam setiap kali kita mengulangi doa Bapa Kami di
kemudian hari.
Contohnya,
pada saat mengucapkan doa Bapa Kami, kita dapat meresapkannya demikian,
Bapa
Kami yang ada di surga, …………………………………………… Betapa bersyukurnya aku boleh menyebut Engkau,
“Bapa”
Dimuliakanlah nama-Mu, Datanglah kerajaan-Mu ………………… Biarlah nama-Mu dimuliakan di dalam hidupku
Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga …….. Aku mau taat dan menjadikan kehendakMu yang
terutama
Berilah kami rejeki pada hari ini ……………………………………….. terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti
Hidup
Dan ampunilah kesalahan kami ………………………………………… Kasihanilah aku, yang berdosa ini
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami …….. Berilah aku kekuatan untuk mengampuni sesama
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan ……………… Sebab aku mengakui kelemahanku
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat …………………………….. terutama terhadap kesombongan dan ketinggian
hati
Kesimpulan
Maka
jika kita perhatikan, walaupun singkat dan sederhana, sesungguhnya makna doa
Bapa Kami sangatlah dalam. Jika kita belum melihatnya demikian, maka sudah
saatnya kita mohon ampun kepada Tuhan, dan memohon kepada Roh Kudus untuk
membantu kita untuk meresapkan doa ini. Sebab, jika kita perhatikan, doa
spontan yang baik sesungguhnya mengambil sumber dari doa Bapa Kami ini.
Misalnya: “Tuhan, aku bersyukur dan memuji Engkau (=Dimuliakanlah nama-Mu),
karena Engkau sungguh baik (“Bapa”). Aku rindu menyenangkan-Mu, ya Tuhan, dan
ingin melayani Engkau (Datanglah Kerajaan-Mu). Namun seringkali aku jatuh, dan
melukai-Mu dengan dosa-dosaku. Kasihanilah aku ya Tuhan (Ampunilah kesalahan
kami). Maka, kumohon ya Tuhan, dampingilah aku, supaya aku bisa memperbaiki
diri, dan hidup lebih baik dari hari kemarin (Janganlah masukkan kami ke dalam
pencobaan). Dan kumohon juga dari-Mu, berkat jasmani dan rohani agar aku dapat
menjalani hari ini dengan baik (Berilah kami rejeki pada hari ini). Engkaulah
Tuhan dan Allahku, kepada-Mulah aku berserah… (Jadilah kehendak-Mu, di atas
bumi seperti di dalam surga). Amin.
Dengan
demikian, dengan meresapkan doa Bapa Kami, kitapun dapat menilai, apakah
doa-doa kita selama ini sudah cukup baik. Selanjutnya, mari kita menilik hati
kita masing-masing, apakah kita sudah meresapkan doa Bapa Kami, setiap kali
kita mendaraskannya. Doa ini adalah doa yang diajarkan oleh Yesus, oleh karena
itu selayaknya kita hayati dan kita resapkan di dalam hati. Jangan sampai kita
kita hanya menghafalkan kata-katanya saja, tanpa menjadikan kata-kata itu
ungkapan hati. Atau sebaliknya, kita tidak lagi rajin mengucapkannya, karena
lebih menyukai doa- doa dengan perkataan kita sendiri. Alangkah baiknya, jika
di samping doa- doa spontan maupun doa hening, kita tetap mengucapkan doa Bapa
Kami ini dengan sikap batin yang baik. Sebab doa Bapa Kami adalah doa yang
sempurna yang berasal dari Allah sendiri, dan karenanya marilah kita
mengucapkannya dengan kasih yang besar kepada Dia yang telah mengajarkan-Nya
kepada kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar